Pahlawan
Akhirnya, setelah beberapa Minggu kelas ini diajar oleh guru sementara yang juga mengajar di kelas lima. Hari ini kelas ini mendapatkan guru tetap, setelah ditinggal pindah tugas guru sebelumnya.
Sarah yang baru saja duduk mengamati Pak Guru Barunya. Pak guru itu mengenakan celana bahan hitam dan batik warna coklat muda. Di wajahnya ia bisa melihat kewibawaan terpancar dari sana.
“Ekhem.” Pak Guru baru itu berdehem, nyaring sekali suaranya.
Seketika kelas yang tadi hening, kini semakin hening.
“Loh, kok malah pada diam?” Pak guru menatap ke seluruh kelas.
Beberapa anak justru terkikik mendengar ucapan Pak Guru. Guru itu juga tersenyum.
“Halo! Selamat siang anak-anak!”
“Siang, Paaak!” Anak-anak menjawab kompak.
“Bagaimana, apakah ada yang sudah mengenal saya? Pasti belum, kan?” tanya Pak Guru lagi.
“Sudaaah!” Hampir seluruh kelas berteriak.
“Beluuum!” Minoritas anak yang tidak tahu pun menyahut.
Sekejap kelas mulai rusuh. Suasana kelas baru tenang saat Bapak Guru meletakkan jari telunjuk di bibirnya dan berkata, “Syuttttt!” Kemudian tersenyum.
“Syuttt. Diam diam!” perintah seorang anak pada teman-temannya dengan suara agak berbisik.
Kelas kembali hening. Dalam beberapa detik, keadaan masih bertahan seperti itu.
“Baik. Ekhem! Ekhem! Tes tes!” Kelas ricuh dengan tawa mendengar Pak Guru terus berdehem.
“Tes,” ucap Pak Guru sambil memiringkan kepalanya. Berlagak seolah sedang berada di atas panggung komedi. Sontak anak-anak semakin tergelak.
Sarah yang biasanya diam, kali ini juga ikut tertawa. Untuk pertama kalinya, wajah itu tampak ceria di sekolah.
“Hemmm. Baiklah anak-anak. Mungkin sebagian dari kalian banyak yang sudah tahu dan mengenal saya. Tapi ada juga sebagian yang belum mengenal saya.” Pak Guru mulai serius. Ucapannya berhenti sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya.
“Bapak ingin tahu, di sini siapa yang belum mengenal saya. Coba angkat tangannya?”
Beberapa anak mulai mengacungkan tangan. Termasuk Sarah.
“Satu, dua, tiga, lima belas. Wah … banyak juga ya. Berarti saya kurang terkenal ini,” ucap Pak Guru sambil mengusap-usap dagunya dengan wajah yang dibuat-buat kecewa.
Keningnya mengerut, ia tampak berpikir. Sementara kelas terus ramai oleh tawa melihat tingkahnya.
“Hemm. Nama saya Bapak Riyandi. Kalian bisa memanggil saya Pak Riyan. Kalian mengerti?” Pak Riyan menaikturunkan alisnya.
“Mengerti, Paaak!” Anak-anak menjawab kompak, Pak Riyan mengacungkan jempolnya.
“Alamat rumahnya saya, emm … ada yang tahu?”
“Aku tau!”
“Aku juga tau!”
Anak-anak berebut ingin menjawab. Pak Riyan meletakkan telunjuknya di bibir untuk kesekian kali sampai kelas kembali tenang.
“Daripada mereka penasaran.” Pak Riyan menunjukkan anak-anak yang tadi mengacungkan tangan.
“Bapak akan menjawab. Rumah saya jauuuuh sekali. Jika kalian pergi ke re kereta api, dekat stasiun itu kalian lurus aja ke Utara sampai mentok. Kemudian belok ke kiri luruuuuus terus. Depan balai desa. Nah, di situ tuh rumah saya,” jelas Pak Riyan.
“Ohhhhhh.” Anak yang baru tahu ber ‘Oh’ ria.
“Jauh, kan?”
“Dekeeeet!”
“Tenang-tenang. Kalian pasti bingung, kan. Kenapa saya berdiri di sini?” tanya Pak Riyan.
“Iyaaa!” Anak-anak selalu saja kompak dalam menjawab.
“Aku tahu, Pak!” Salah seorang anak berseru.
“Apa coba?” Pak Riyan memicingkan matanya sambil tersenyum.
“Eung … pak Riyan mau ngajar di sini, kan?”
“Siapa bilang?” Pak Riyan terus tersenyum.
“Eungg ….” Anak itu jadi kebingungan.
“Dia benar, saya akan mengajar di sini. Menggantikan Ibu Ana yang pindah tugas. Mulai hari ini saya yang akan mengajar di sini.” Pak Riyan menjelaskan.
“Yeeeee!”
“Loh, kok malah pada senang begitu? Kenapa? Saya ini orangnya galak loh.” Pak Riyan terus saja menggoda anak didik barunya.
“Engga.” Mereka menyangkal.
“Bener loh.”
“Pak Riyan Bohong.”
“Iya, Pak Riyan itu engga galak. Orang aku pernah lihat waktu di … waktu di … wak_”
“Di apa?” Pak Riyan memotong ucapan muridnya.
“Nggak apa-apa Pak. Hehe.” Anak itu akhirnya diam karena merasa malu.
“Oh, iya anak-anak. Karena ini hari pertama Bapak mengajar, kita santai-santai dulu ya. Saya kan sudah perkenalan, sekarang giliran kalian maju satu persatu buat kenalan.” Pak Riyan duduk di kursinya.
Satu persatu anak mulai maju ke depan sesuai nomor absen. Hari ini tidak ada satu pelajaran pun. Setiap anak nampak sangat bahagia.
***
Hari ini, cuaca sangat terik. Setengah hari di sekolah tanpa minum sedikit pun, membuat tenggorokannya juga ikut kering.
Sarah berjalan lemas pulang sekolah. Meskipun begitu, wajahnya terhias senyuman. Entah kenapa, ia merasa guru barunya berbeda.
Sampai di rumah, ia langsung berlari ke belakang. Matanya mencari-cari keberadaan teko plastik, saat menemukannya tubuhnya semakin lemas seketika.
Teko itu kosong, ia beralih mencari panci yang biasa digunakan untuk merebus air. Di sana juga kosong, sepertinya sang ibu tidak sempat memasaknya.
Sarah mengganti pakaiannya, kemudian pergi ke dapur. Di liriknya tumpukan kayu bakar yang tinggal sedikit.
Anak itu mulai mengambil panci dan mengisinya dengan air. Ia menyalakan kayu bakar di dapurnya yang masih menggunakan batu.
Cekatan sekali dirinya, tidak butuh waktu lama kayu-kayu itu sudah menyala. Sarah letakkan panci itu di atasnya. Api semakin besar, membuat dirinya merasakan gerah dua kali lipat.
Asap mengepul, air sudah mendidih. Sarah mengangkatnya, panci besar itu ia letakkan di atas meja. Tempat biasa panci itu diletakkan.
Haus, panas, dan gerah. Itulah yang dirasakan Sarah. Gadis kecil itu duduk dan mengipas-ngipas wajahnya. Semilir angin yang tiba-tiba datang membuatnya mengantuk, sampai tanpa sadar ia tertidur.
“Suruh dia bangun!”
Deg!
Sarah terlonjak kaget. Nissa berdiri di sampingnya.
“Kakak, ayo pergi mulung. Bapak ngamuk.” Nissa berbisik.
“Kenapa ngamuk?” tanya Sarah masih belum tersadar penuh.
“Gara-gara, Kakak pulang sekolah malah tidur.” Nissa menjawab pertanyaannya, masih dengan suara yang berbisik-bisik.
“Ayo, Kak. Nanti Bapak balik ke sini, ngamuk lagi. Tadi aja Ibu di pukul.”
Darah yang mengalir di tubuhnya serasa mendidih. Luka yang ia simpan kian bertumpuk. Ia pergi ke belakang. Buang air kecil yang sejak pagi ditahan, kemudian mencuci mukanya.
“Ibu nggak berguna! Anak udah gede, nggak diajarin rajin. Supaya gedenya sukses. Malah dibiarkan tidur siang-siang.”
Sarah masih mendengar bapaknya yang terus menerus mengomel. Ibunya diam, ia heran. Kenapa ibunya tidak pernah berusaha melawan.
Berat hatinya meninggalkan ibu di rumah. Ia berharap ibunya segera pergi lagi, mencuci dan rumah-rumah tetangga akan lebih baik, daripada dipukuli oleh Bapak di rumah.
Lagi-lagi akan selalu seperti ini. Ia berjalan pelan dibawah terik matahari. Kerongkongan yang mengering, kini sudah terasa sakit.
“Ibu tadi diapain aja sama Bapak, Dik?” tanya Sarah, demi menjawab rasa penasaran dan khawatir di hatinya.
“Ibu dipukul, sama dilempar pake sendal. Terus ibu pergi ke belakang.” jawab Nissa pelan.
“Hmmm.”
Hening.
_______________
To be continue ….