“Aliya Rahmani, aku Cakra Winata memberimu talak kedua. Mulai sekarang pergilah jauh dari hidupku. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi.” *
~•°•~
Suara mobil berhenti bisa kudengar. Aku sangat hafal itu adalah mobil Mas Cakra. Segera kuselesaikan sapuan bedak di wajahku. Terakhir kupulas bibirku dengan lipstik warna merah muda.
“Assalamualaikum.”
Jantungku bertalu saat mendengarnya mengucapkan salam. Disusul ucapan salam dari beberapa orang.
Ah, dia datang bersama siapa?
Kuhela napas panjang untuk menetralisir detak jantung. Namun seolah menolak kerjasama, degupnya justru semakin kencang.
“Aliya,” panggil Ibu dari luar kamar.
“I-iya Bu,” jawabku tergagap.
“Cepat keluar Nak. Sambil bawa tiga gelas teh hangat ya,” ucap ibu sambil berlalu.
“Iya, Bu.”
Kutarik napas panjang lagi. Kemudian ke luar menuju dapur. Kubuatkan teh hangat untuk Mas Cakra dan semuanya. Aku menahan napas saat melihat dengan siapa Mas Cakra datang.
Apakah mereka orangtuanya?
“Silahkan minumnya Mas, Pak, Bu,” ucapku sambil meletakkan tiga gelas teh hangat di atas meja. Kemudian duduk di samping Ibu.
Diam-diam kulirik wajah Mas Cakra yang juga sedang menatapku. Membuat pandangan kita bersirobok, cepat-cepat kualihkan pandangan. Karena rasa malu ditatap Mas Cakra dengan tatapan yang entah.
Kini wajahku pasti sedang bersemu merah.
“Begini Bu, saya datang bersama Ayah dan Ibu, untuk menjalankan iktikad baik. Sesuai anjuran Rasulullah, saya ingin membangun bahtera rumah tangga bersama Aliya. Tentunya jika Ibu mengizinkan,” ucapnya lembut namun tegas.
“Subhanallah, maksud Nak Cakra baik sekali. Saya pasti merestui, namun semuanya kembali pada Aliya. Apakah Aliya bersedia?” Pandangan ibu beralih padaku.
Aku menatap mata ibu sendu. Masalalu itu membuatku ragu menerima lamaran Mas Cakra.
Seolah mengerti keraguanku, Ibu meremas pundakku pelan. Tatapan ibu seolah sedang meyakinkanku. Aku mengangguk sebagai jawaban untuk lamaran Mas Cakra.
“Alhamdulillah ….” Ucapan syukur kami serempak. Wajahku semakin tertunduk, malu.
Selepas kepergian Mas Cakra dan keluarganya, aku masih duduk di ruang tamu. Ibu yang selesai mengantar ke luar, kini duduk di sampingku.
“Ada apa Aliya?” tanyanya sambil menepuk pundakku.
“Apa kamu tidak bahagia, Nak Cakra melamarmu?” tambahnya.
Aku menggeleng cepat.
“Lalu kenapa?” Ibu membingkai wajahku. Netranya seolah sedang menelisik keraguan di mataku.
“Bagaimana jika dia tahu bahwa aku sudah tidak perawan, Bu?” tanyaku bergetar.
Ibu terdiam. Wajahnya mendadak berubah suram. Apakah Ibu memiliki ketakutan yang sama?
“Bu,” panggilku. “Apa sebaiknya aku katakan pada Mas Cakra?”
Ibu menoleh, ia langsung menggeleng cepat. “Apakah Nak Cakra pernah bertanya?”
Aku menggeleng.
“Anggap saja Tuhan sedang menutupi aibmu, Nak,” ucap Ibu.
“Apa harus aku sembunyikan, Bu? Bagaimana jika setelah menikah Mas Cakra mengetahuinya, lalu dia menceraikanku Bu,” ucapku dengan bibir bergetar karena takut.
“Tidak, tidak akan terjadi apa-apa dengan pernikahanmu. Kejadian itu bukan salahmu, jadi tidak seharusnya kamu yang menanggung karma ini.” Tatapan ibu berubah nyalang.
“Aliya,” panggilnya. “Kamu harus bahagia, jika Nak Cakra mempermasalahkannya, kamu bisa jelaskan padanya. Ia akan mengerti. Nak Cakra anak yang baik,” ucapan ibu sebelum meninggalkanku di ruang tamu.
Aku terpaku, benarkah Tuhan sedang menutupi aibku?
Akankah semua akan baik-baik saja seperti ucapan ibu?
***
Flashback Off
Kuraih fotoku bersama Mas Cakra. Mengusap wajah dalam bingkai itu, kemudian memeluk erat foto kami.
Bayangan saat Mas Cakra melafalkan ijab kabul masih terasa jelas di ingatanku. Suaranya yang sedikit berat berhasil melafalkannya dengan satu kali tarikan napas.
Wajah yang beberapa waktu lalu berhasil membuatku berdecak kagum. Sikap yang selama ini membuatku tersenyum takjub. Kini telah berubah menjadi sosok dingin penuh kebencian setelah tragedi bercak darah di malam pertama kami.
Tiba-tiba aku menyesal tidak mengatakannya sebelum pernikahan. Aku tidak mengerti, apakah Tuhan benar-benar sedang menutup aibku. Atau justru sedang berencana menghukumku.
Aku tidak tahu, tapi apapun itu. Aku tetap akan percaya bahwa rencana Tuhan itu indah. Meski kenyataannya saat ini pahit dan menyakitkan.
***
Bersambung ….