Tuhan, Aku Ingin Seperti Mereka
Harapannya, adalah segera sampai ke toko itu dan membeli es lilin seperti yang ia inginkan.
Tapi kenyataan berkata lain, es lilin yang ia dambakan sudah habis sejak tadi. Ia pun pulang dengan harapan yang hampir pupus.
Harapan itu kembali tumbuh saat Nissa memintanya membeli es krim saja setelah pulang. Di kepalanya mulai ada bayang-bayang es krim yang lezat.
Sampai di rumah, Sarah justru melihat apa yang tidak seharusnya ia lihat. Ibunya dipukuli oleh bapak demi merampas uang lima puluh ribu yang ibu sembunyikan untuk makan malam.
Setelah merampas uang hasil jerih payah ibunya, Sarah melihat laki-laki yang ia sebut sebagai Bapak itu berlalu dan pergi mengendarai motor.
Ada rasa sakit di hati Sarah. Gadis yang selama ini dibesarkan dengan teori nilai-nilai kebaikan. Namun praktek yang ia lihat selalu bertolak belakang. Entah itu di rumah, ataupun di sekolah.
Norma-norma yang selalu diajarkan padanya seolah tak ada artinya.
Ia menghampiri sang ibu yang terdiam dengan wajah yang tak bisa dijelaskan, sedih, kecewa, dan marah. Semuanya mendominasi.
Gadis itu memberikan uang yang tadi ia temukan kepada ibunya. Bisa ia rasakan usapan tangan ibu yang terasa lembut di kepalanya. Kali ini, harapan memakan sebuah es krim benar-benar pupus di kepalanya.
“Sarah, ibu pakai uang ini buat beli beras ya?”
“Iya, Bu. Itu kan udah jadi uang ibu.”
“Kamu ikut engga?”
Sarah mengangguk, ia digandeng ibunya pergi ke toko Bu Ripah, sedangkan Nissa bergelayut manja dalam gendongan Ibu.
Sesaat ia melirik wajah sang ibu, gurat lelah tampak jelas di sana. Dalam hati ia berjanji, tak akan membiarkan sang ibu terluka di hari tuanya.
Tidak lama mereka sudah sampai di toko Bu Ripah, yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Ia melihat ibunya membeli setengah kilo beras dan dua telur. Ibunya membeli dua buah es krim harga dua ribu untuk dirinya dan Nissa.
Harapan yang tadinya pupus, kini terpenuhi tanpa dia harus meminta pada sang ibu. Kebahagiaan langsung merekah di wajah keduanya.
Di rumah, ibu langsung memasak nasi di dapur. Dua telur di dadar dengan bumbu garam. Setelah matang, telur dipotong menjadi dua bagian. Setengah untuk bapaknya, setengah lagi dipotong menjadi tiga. Untuk Ibu, Nissa, juga dirinya.
Terkadang dirinya merasa miris, tapi ia memilih tersenyum. Ia yakin dengan ia tersenyum akan memberi kekuatan kepada sang ibu.
***
Waktu terus bergulir, hari ini ia akan pergi ke sekolah. Semangat yang ia pancarkan masih seperti biasa. Meski terkadang ia malas ke sekolah, akibat perlakuan teman-temannya yang tidak mengenakkan.
Sepasang kaki mungil menapaki jalanan aspal menuju sekolahnya. Tidak terlalu jauh, tapi mampu membuat pegal kaki yang tidak biasa berjalan sejauh itu.
Sarah tersenyum melihat gerbang sekolah yang sudah terlihat dari ujung lapangan. Setengah berlari ia melewati lapangan sepak bola yang sangat luas ini.
Sejak pertama ia masuk ke dalam kelas, semua sudah heboh membicarakan guru baru yang akan mengajar di kelasnya. Dilihat dari wajah teman-temannya, mereka terlihat sangat senang dengan kedatangan guru itu.
“Guru baru!?” seru salah seorang teman Sarah. Sinta namanya.
“Iya.” Firman menjawab.
Mereka kemudian berbisik-bisik. Sarah yang penasaran tentang guru baru yang sedang ramai dibicarakan pun ikut mendekat.
“Ada apa Sinta?” Sarah bertanya, wajahnya sangat berharap dapat jawaban.
“Kepo! Sana, duduk lagi sana! Ntar juga tahu!” sentak Sinta.
Mau tak mau Sarah kembali bungkam, kakinya memilih melangkah menjauhi kerumunan teman-temannya. Ia duduk di bangku menunggu guru datang ke kelasnya.
Pukul tujuh seharusnya kelas sudah masuk, tapi entah kenapa hari ini kelas kosong sampai bel istirahat. Sarah sempat mendengar bahwa gurunya sedang rapat.
Dari bisik-bisik teman-temannya, mereka menduga rapat itu membahas tentang di mana guru baru itu akan di tugaskan. Di kelas empat atau kelas lima. Itulah sebabnya banyak teman-teman Sarah yang sibuk merapal doa agar guru baru itu di tugaskan di kelas mereka.
Lain teman-temannya, lain pula dengan Sarah. Anak itu seolah tidak tertarik siapa guru yang akan mengajar di kelasnya. Yang ia tahu, siapapun guru yang mengajar tidak akan merubah nasibnya di sekolah ini.
Selama pelajaran kosong. Kelas sepi dalam sesaat, dan sesaat kemudian kembali ramai. Terus seperti itu. Teman-temannya sibuk mondar-mandir, sedang dirinya akan diam di kelas saat sedang ramai. Namun ketika sepi, ia akan berdiri di ambang pintu. Kadang ia merasa takut berada di dalam kelas sendirian.
Teman-temannya sudah berkali-kali pergi ke kantin. Saat kembali ke kelas mereka akan membawa berbagai jenis makanan juga minuman. Disaat seperti itu, Sarah lebih memilih duduk di bangkunya dan menelungkupkan wajahnya di meja.
Teman-temannya sering menganggap ia sebagai pengganggu jika duduk di dekat mereka. Sarah tidak menyukai pandangan merendahkan dari teman-temannya.
Sarah memang jarang pergi ke kantin. Anak itu sangat jarang membawa uang saku ke sekolah. Hanya kadang-kadang jika ibunya sedang ada uang lebih saja.
Sekarang masih jam istirahat, saat ini Sarah sedang duduk di tempat duduk memanjang yang terbuat dari batu dan semen di depan kelas. Matanya menerawang jauh hingga menembus lapangan. Jauh di ujung barat, matanya tidak berhenti menerawang.
Di lapangan, teman-teman laki-lakinya sedang bermain sepak bola. Sarah mengalihkan pandangan dan menjatuhkannya di sana. Kadang ia tersenyum melihat mereka saling bersorak saat bola masuk ke gawang. Tapi sesaat kemudian ia kembali merenung.
Merenungkan setiap hal yang ia alami. Memikirkan kenapa ia tidak terlahir sama seperti teman-temannya.
“Tuhan … Ibu bilang, jika seorang anak terus bersikap baik, maka engkau akan menyayanginya.” Sarah berucap lirih. Sangat lirih, hingga hanya dirinya dan Tuhan saja yang bisa mendengar.
“Tuhan … aku ingin seperti mereka. Aku mohon, aku ingin tahu bagaimana rasanya punya teman. Teman yang tulus dan baik. Bukan teman yang hanya tahu cara menyakiti. Bukan teman yang datang dengan alasan lain, selain benar-benar tulus.” Airmata mulai menggenang di pelupuk matanya. Hampir sedikit lagi, air itu akan jatuh ke pipinya.
Saat-saat sendu, Sarah tiba-tiba merasa ingin ke kamar mandi untuk membuang hajat kecil.
Setengah berlari ia menuju kamar mandi. Saat ingin berbelok, Sarah melihat jalan sangat ramai dengan anak laki-laki yang sedang menongkrong. Ia merasa takut, dengan terpaksa ia kembali ke kelasnya.
Sebelum pergi, ia sempat mendengar olokan salah satu orang di sana. “Bener, kan kata aku. Kalau dihadang dia ga bakalan berani lewat. Hahaha, dasar pacarnya Gilang.”
“Siapa?” Gilang yang tadinya asik mencoret dinding menanggapi.
“Sarah!”
“Hahaha!”
“Gilang pacarnya Sarah!”
Sarah bisa mendengarnya dengan jelas. Hatinya seperti ditusuk-tusuk benda tak terlihat. Sangat nyeri.
Langkahnya melambat. Ia kembali ke kelasnya dengan gontai.
“Kelas empat masuk!”
“Kelas empat masuk!”
“Sinta! Dina, Adit! Masuuuk!”
Dari jauh Sarah mendengar teriakkan bahwa kelasnya masuk. Meski menahan pipis, ia juga ikut berlari agar bisa sampai ke kelas lebih cepat.
“Permisi, maaf Pak. Saya terlambat,” ucap Sarah sesampainya di pintu.
“Iyaa, silahkan duduk.” Gurunya menjawab lembut.
Sarah langsung duduk di bangkunya. Ia menatap wajah asing di depan, sepertinya guru baru yang sempat jadi buah bibir teman-temanya akan mengajar di kelas ini.
_______________
To be continue ….