Napas Terakhir di Boshporus
Bab 3 : Napas Terakhir di Bosphorus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Peluh Keringat si Gadis Kecil Seperti biasa, Sarah akan segera pergi memulung sepulang sekolah. Ditemani sang adik, ia mulai menelusuri jalan. Tempat yang pertama kali ia tuju adalah sebuah pasar di desa seberang. Biasanya, ia akan menemukan banyak barang bekas di sepanjang pasar, apalagi saat ini pasar baru saja selesai. Masih banyak penjual-penjual yang sibuk […]

Gratis

Gratis

Gratis

Gratis

Gratis

Premium

Bab 3 : Napas Terakhir di Bosphorus

Peluh Keringat si Gadis Kecil

Seperti biasa, Sarah akan segera pergi memulung sepulang sekolah. Ditemani sang adik, ia mulai menelusuri jalan. Tempat yang pertama kali ia tuju adalah sebuah pasar di desa seberang.

Biasanya, ia akan menemukan banyak barang bekas di sepanjang pasar, apalagi saat ini pasar baru saja selesai. Masih banyak penjual-penjual yang sibuk membereskan dagangannya untuk dibawa pulang, kemudian akan dibawa lagi saat hari pasaran tiba.

Sarah dan adiknya pergi dari pasar, mereka menelusuri rel kereta api menuju stasiun yang tidak jauh dari pasar. Rencananya, mereka akan kembali ke pasar saat orang-orang itu sudah selesai membereskan dagangannya.

Dibelakang bangunan peninggalan Belanda di jaman penjajahan itu, ada sekotak besar tempat sampah, yang menjadi pusat pembuangan para pengunjung stasiun.

“Kakak, di sini ada banyak sekali botol susu!” teriak Nissa, yang entah sejak kapan terlepas dari gandengan sang kakak.

Sarah yang sedang memunguti sampah di sepanjang area stasiun, segera berjalan ke arah sang adik. Benar saja, di sana terdapat banyak sekali botol susu, Sarah langsung memungutnya dan memasukkannya ke dalam karung.

“Kak, karungnya udah penuh!” seru Nissa girang. Wajahnya tersenyum membentuk lengkungan manis di bibirnya.

“Iya, kita pulang dulu, yuk. Nanti, balik lagi ke sini,” ajak Sarah. Sang adik menurut. Keduanya pun berjalan mendekati rel kereta.

Saat hendak menyeberang, sebuah kereta terlihat dari arah timur. Sarah mengurungkan niatnya. Menunggu kereta itu berlalu bersama gerbong-gerbong tua yang sangat panjang.

Kereta itu telah lewat, Sarah dan Nissa segera berlari menyebrangi rel kereta. Persis setelah mereka sampai di sisi seberang. Sebuah kereta kembali lewat dari ujung barat.

Kali ini tidak langsung lewat, melainkan berhenti beberapa saat di stasiun. Sarah sempat memperhatikan orang-orang masuk ke dalamnya. Setelah mengangkut setiap penumpang yang ada, kereta itu kembali melaju ke arah timur.

Sarah dan adiknya kembali berjalan, mereka memilih pulang melewati pematang sawah dekat bangunan sekolah tempat ia belajar setiap pagi. Karena lewat sawah-sawah ini akan jauh lebih cepat sampai ke rumah dibandingkan lewat jalan raya.

Tubuh Sarah nampak sempoyongan mengangkut karung yang berukuran lebih besar dari badannya. Sang adik berjalan di depan agar tidak tertinggal oleh langkah Sarah yang jauh lebih cepat.

“Ayo Dik, jalannya ke depan. Jangan berhenti berhenti, Kakak udah capek bawa karungnya,” ujar Sarah dengan napas yang sedikit ngos-ngosan.

“Iya, Kak. Aku juga capek.” Nissa berjalan pelan.

Brugh! Dentuman karung yang diletakkan secara kasar, membuat Nissa berhenti dan menoleh ke arah kakaknya. Bisa dia lihat, sang kakak sedang menselonjorkan kakinya di tanah. Nissa mendekat.

“Kakak, capek. Kita istirahat dulu sebentar. Nanti kita lanjut lagi jalannya,” ucap Sarah meminta sang adik untuk beristirahat.

“Iya, Nissa juga capek.” Nissa duduk di samping Sarah. Tangannya memainkan daun bambu yang berserakan di samping lahan sawah.

Sarah menghela napas panjang, wajahnya berkeringat, bibirnya pecah-pecah. Mungkin dia kehausan. Sedang Nissa mulai berlari lari, mulutnya mengoceh asal, khas seorang anak kecil.

Naas kaki mungilnya terjerembab ke dalam lubang besar di tanah yang pecah-pecah dan penuh tanaman jagung. Gadis kecil mulai menangis, kakinya tergores tanah yang mengeras akibat kemarau panjang.

“Huaaaa!”

Langkah Sarah gontai menghampiri sang adik, suara tangis Nissa semakin keras.

“Sini.” Sarah mengangkat tubuh adiknya dari lubang, dan menggendongnya ke atas.

“Mana yang sakit?”

“Ini … hiks hiks.”

“Apanya?”

“Kakinya sakit, berdarah. Ada darahnya. Huaaa!” teriak Nissa histeris.

“Mana, sini sini.” Sarah mengusap darah di kaki Nissa dengan kain bajunya. Di tiupnya luka di kaki Nissa sampai tangis sang adik mulai mereda.

“Hiks hiks.”

“Udah, jangan nangis. Ayo kita pulang.”

“Hu’um. Hiks hiks hiks.”

“Berhenti dulu nangisnya.”

“Hu’um.”

Sarah mengambil karung, untuk kemudian ia panggul di bahu. Satu tangannya menggandeng tangan Nissa. Keduanya kembali berjalan menelusuri pematang, kemudian melewati ladang bambu dan lapangan. Setelah sampai di jalan raya, keduanya berbelok ke kanan, ke arah rumahnya.

Di gang menuju rumah, Nissa melepaskan gandengan sang kakak, berlari mendahului untuk sampai di rumah lebih dulu.

Sarah hanya memandang Nissa dengan tatapan kosong. Ia terus berjalan sampai akhirnya ia sampai di rumah. Segera ia keluarkan semua isi karung. Karung ia lipat, kemudian menghampiri sang adik yang sedang minum air putih di dalam.

“Ayo kita pergi lagi, keburu yang di pasar habis,” ajak Sarah setelah menenggak segelas air putih.

“Ayooo!” Nissa berlari penuh semangat. Sepertinya ia sudah lupa dengan luka di kakinya. Sarah mengikuti dari belakang.

Sampai di pasar, tempat itu sudah sepi. Hanya satu dua saja yang masih ada di sana. Sarah dan adiknya menelusuri seluruh pasar. Memunguti kertas-kertas, maupun botol plastik bekas yang tidak terpakai. Jika beruntung, ia akan menemukan potongan besi, tembaga, atau uang kertas yang ada di tumpukan sampah.

Seperti hari ini, Sarah sibuk memunguti kertas-kertas bungkus rokok, juga kardus-kardus bekas di tumpukan sampah. Saat memilah-milah sampah dengan gerakan cepat ia melihat selembar uang dua puluh ribu di sana.

Entah siapa pemiliknya, uang itu ada di tumpukan paling bawah. Mungkin milik pengunjung pasar yang terjatuh. Sarah memungutnya, sesaat kemudian datang seorang ibu-ibu yang akan membakar sampah yang tadi dikaisnya.

“Bu, tadi aku menemukan uang di tumpukan sampah ini.”

“Berapa?”

“Dua puluh ribu.”

“Ya sudah, buat kamu aja. Itu namanya rezeki kamu, mungkin uang itu milik pengunjung yang terjatuh,” ucap ibu-ibu itu setelah melihat uangnya di saku.

Sarah pun pergi menghampiri sang adik yang sibuk berlarian di salah satu los pasar.

“Dik, kakak dapat uang.”

“Mana?”

“Ini!” serunya menunjukkan selembar uang dua puluh ribu.

“Wahhh.”

“Nanti kita bisa beli jajan di warung sana ya?”

“Di mana?”

“Nanti waktu pulang, di deket lapangan SD, yang waktu itu kakak ajakin kamu beli es rujak itu loh.”

“Oh yang itu. Mau mau.” Nissa sangat girang. Wajahnya tidak sabar akan merasakan es rujak seperti yang ia minum dua minggu lalu.

Dua minggu yang lalu Sarah memang mengajak sang adik membeli es di sana. Saat itu, Sarah diberi uang oleh ibunya. Ibu bilang ada rezeki lebih waktu itu.

“Ya udah, kita pulang yuk. Nanti kita beli Es dan istirahat di perbatasan sawah dan lapangan. Kakak udah capek, karungnya juga udah penuh.” Sarah mengajak sang adik segera pulang.

Nissa hanya mengangguk. Berjalan mengikuti sang kakak di belakang.

“Dik, kamu di depan Kakak aja. Biar Kakak ga capek nengokin kamu ke belakang terus,” ucap Sarah. Ia menghentikan langkahnya sebentar, menunggu sang adik berjalan di depan.

Keduanya berjalan pulang, melewati rute yang biasanya. Jika dari pasar, mereka akan langsung menembus jalan tengah yang memisahkan antara dua bangunan kios.

Mereka berjalan lurus melewati sepetak sawah, rel kereta api, kemudian berakhir di lapangan Sekolah dasar.

Dari lapangan ujung utara, mata Sarah berbinar melihat bangunan toko yang terletak di pinggir lapangan bagian tengah.

Rasa dingin yang mengaliri kerongkongan seolah sedang menanti kedatangannya.

_______________

To be continue ….

Gratis

Gratis

Gratis

Gratis

Gratis

Premium