“Ingat Aliya, hanya tinggal dua talak lagi. Kamu jangan pernah berharap bisa kembali padaku. Aku sama sekali tidak tertarik lagi untuk membangun bahtera rumah tangga bersamamu. Ingat itu baik-baik!” ucapnya sadis setelah menghempaskanku.Â
~•°•~
Hatiku seperti diremas-remas, saat mataku menyaksikan Mas Cakra bergandengan tangan dengan seorang wanita yang memakai seragam yang sama dengan dirinya.
Mas Cakra bahkan melewati diriku begitu saja, padahal dirinya tadi sempat melihatku. Mataku memanas, Mas Cakra kini justru merangkul wanita itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Aku menyusul, bagiku masih ada kesempatan karena Mas Cakra baru menjatuhkan talak satu. Akan aku perjuangkan rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta kami yang begitu besar. Aku tidak akan rela cinta yang kami bangun hancur begitu saja.
“Mas Cakra, tunggu!” panggilku sembari berjalan cepat ke arahnya.
“Mas Cakra!” Setelah teriakan kedua ia berhenti, kemudian menoleh ke arahku. Ada sorot tidak suka di matanya.
“Ada apa lagi, Aliya? Aku sudah bilang, aku tidak akan menjalin hubungan lagi denganmu!” bentaknya kasar.
Bukan hanya aku, wanita dalam rengkuhannya pun juga ikut berjengkit.
“Tapi Mas Cakra, setidaknya dengarkan aku sekali saja. Aku mohon Mas, aku akan jelaskan semuanya.” Kuharap dia mau mendengarkan penjelasanku. Setidaknya, itu akan mempengaruhi keputusannya.
Namun aku salah, jangankan mendengar. Ia justru memberikan apa yang paling tidak aku inginkan.
“Katakan Aliya, apa yang ingin kamu jadikan untuk pembelaan? Sudah jelas-jelas, kalau kamu itu menipuku.” Mas Cakra tanpa melihat ke arahku.
Mungkin baginya, aku seperti sesuatu yang menjijikkan untuk dipandang.
“Aku tidak menipumu, Mas. Selama kita bersama, bukankah kamu tidak pernah mempertanyakannya? Kupikir kamu tidak mempermasalahkan, apakah aku masih perawan atau tidak.” Kupaksa ia menatap manik mataku. Aku ingin dia tahu, berapa aku tersiksa dengan keputusannya.
“Harusnya kamu memberitahuku, Aliya! Kalau kamu ini mantan pel*cur! Aku tidak akan pernah mau menikah denganmu! Sudah berapa banyak laki-laki yang menyentuhmu secara bergilir!” Ia mengalihkan pandangannya. Ada kebencian besar dari matanya, aku tidak sanggup menerima kebencian sebesar itu.
“Aku bukan pel*cur, Mas! Aku_”
“Cukup Aliya! Cukup! Aku tidak mau mendengar apapun lagi.” Mas Cakra memotong perkataanku.
“Aliya, karena kamu datang ke sini, dan kamu berusaha membohongiku, aku_”
“Jangan, Mas! Aku mohon. Jangan berikan aku talak. Setidaknya dengarkan penjelasanku lebih dulu. Aku mohon, jangan beri aku talak kedua. Aku mohon, Mas,” sergahku cepat. Aku tidak mau mendengar kata talak lagi dari Mas Cakra.
“Aliya, Cukup!” Ia membentakku, tubuhku gemetar karenanya.
“Dengar Aliya. Aku tidak akan mau bersamamu lagi. Kemarilah,” ucapnya. Aku mendekat.
Aku bisa merasakan tangannya******wajahku, matanya seperti sedang menelanjangiku.
“Aliya, wajahmu yang cantik ini, senyumanmu, bibirmu, matamu, hidungmu, dan semua yang ada pada dirimu, sama sekali tidak membuat aku tertarik. Aku tidak menginginkannya!”
Deg!
Aku berhenti bernapas untuk beberapa saat. Berdiri mematung menyaksikan dirinya yang berjalan menjauh. Tangannya merangkul wanita itu masuk ke dalam rumahnya, tidak lama pintu tertutup.
Aku hanya bisa menatap pintu itu dengan tatapan kosong. Hatiku perih, rasanya seperti ada yang menjatuhkan godam besar tepat di palung hatiku. Menciptakan banyak kerusakan di setiap dinding hatiku, aku sesak dibuatnya.
Harapanku hampir pupus, aku melangkah tanpa tenaga meninggalkan rumah ini. Rumah yang pernah aku harap-harapkan menjadi istana hatiku bersama Mas Cakra. Hatiku ngilu jika mengingatnya.
“Aliya.”
Ada binar di mataku saat Mas Cakra memanggilku, aku menoleh. Benar, Mas Cakra kini berjalan ke arahku. Aku bahagia, mungkin ia akan bersedia mendengar penjelasanku.
“Mas Cakra, keyakinanku benar. Kamu pasti mau mendengarkan penjelasanku.” Aku berjalan ke arahnya.
Seperti ada siraman semangat kala melihat wajah tampan miliknya. Aku merindukan Mas Cakra, meski baru terhitung jam kami dipisahkan.
“Kamu mau mendengarkan penjelasanku kan, Mas.” Mataku menatap penuh harap, ia menatapku lembut. Sungguh aku rindu tatapan itu.
“Katakan, Aliya,” ucapnya sambil tersenyum. Hatiku langsung meleleh dibuatnya. Aku bersyukur, akhirnya ia mau mendengarkanku.
“Mas, sebenarnya_”
“Ayo Aliya, katakan.” Mas Cakra memotong ucapanku.
“Mas, sebenarnya_” Belum selesai aku berbicara, ia sudah memotong perkataanku lagi. Hatiku mulai gelisah, aku merasakan hal buruk akan terjadi lagi di tempat ini.
“Karena apapun yang kamu katakan, tidak akan pernah merubah keputusanku. Ini bukan hanya soal kamu masih perawan atau tidak. Tapi ini tentang harga diriku, Aliya! Aku tidak bisa membiarkan harga diriku kamu injak begitu saja.”
Mataku melebar, lagi-lagi harus kudengar kata-kata menyakitkan dari mulutnya. Aku benci ini, aku benci setiap kali berbicara dengannya hanya penghinaan yang aku dapatkan.
“Kenapa kamu tidak mau mendengarkanku lebih dulu, Mas? Kenapa kamu terus menerus menghakimiku?”
Pria yang sangat aku cintai menatapku penuh kebencian. Tidak ada lagi yang lebih menyakitkan dari itu. Meski takut, aku tetap menatap matanya. Bisa aku rasakan kebencian yang sangat besar di dalam netranya.
Hatiku hancur, tatapannya menyeretku kembali kepada trauma yang tidak pernah sembuh.
***
Bersambung ….