Napas Terakhir di Boshporus
Bab 2 : Napas Terakhir di Bosphorus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ketika Dunia Begitu Asing Masa sekolah dasar harusnya adalah masa paling menyenangkan. Saat yang seharusnya seorang anak bisa belajar sambil bermain. Banyak teman dan hanya mengenal kata bahagia. Tapi tidak untuk Sarah. Saat ini, gadis itu sedang duduk di bangkunya. Tangannya tidak berhenti membolak-balik buku pelajaran usang yang ia punya. Sarah menggambar apa saja yang […]

Gratis

Gratis

Gratis

Gratis

Gratis

Premium

Bab 2 : Napas Terakhir di Bosphorus

Ketika Dunia Begitu Asing

Masa sekolah dasar harusnya adalah masa paling menyenangkan. Saat yang seharusnya seorang anak bisa belajar sambil bermain. Banyak teman dan hanya mengenal kata bahagia.

Tapi tidak untuk Sarah. Saat ini, gadis itu sedang duduk di bangkunya. Tangannya tidak berhenti membolak-balik buku pelajaran usang yang ia punya.

Sarah menggambar apa saja yang ingin ia gambar. Saat merasa bosan, ia melihat buku apa saja yang ia bawa untuk pelajaran hari ini.

Kebetulan, hari ini ada pelajaran bahasa Indonesia. Tangannya yang mungil mulai membuka-buka buku tebal yang dipinjamkan oleh pihak sekolah. Ia memilah lembar demi lembar halaman, mencari kalau-kalau ada cerita yang bisa ia baca.

Sayang sekali, semua ceritanya sudah ia baca di hari sebelumnya. Ia mulai kebingungan harus melakukan apa. Soal-soal bahkan sudah ia kerjakan.

Matanya melihat ke halaman. Di sana, teman-teman saling melempar bola voli. Tak jauh dari sana, ia juga melihat segerombol temannya sedang bermain petak umpet.

Apakah Sarah tidak menginginkannya? Bohong sekali. Gadis itu sangat ingin tahu, bagaimana rasanya memegang bola voli. Membayangkan, betapa menyenangkannya bermain petak umpet. Atau sekedar bergurau riang di teras kelas.

Sebagai anak yang tidak pernah diterima oleh sekitarnya, Sarah tidak berdaya. Ia hanya akan menelan mentah-mentah harapannya. Tak pernah membiarkan harapan itu muncul ke permukaan.

Hari ini, setelah tidak tahu lagi apa yang dikerjakan. Gadis itu mendekati teman-temannya yang sedang bergurau di teras.

Sarah berjongkok, sama seperti yang dilakukan teman-temannya.

“Ehm. Di sini, udah enggak enak, deh. Kita pindah aja, yuk!” ajak salah satu anak yang bernama Riska.

“Iya. Ke sana aja, dekat pohon belimbing.” Dita menunjuk pohon belimbing tiga meter dari tempatnya berdiri.

Serentak anak-anak pun berdiri, termasuk Sarah. Gadis itu mengikuti teman-temannya ke arah pohon belimbing. Anak-anak itu pun mengambil posisi yang nyaman untuk duduk.

Sarah juga duduk. Lagi-lagi Riska kembali berkata, “Ternyata, di sini juga enggak enak. Balik ke sana lagi, yuk.”

“Yuk!” seru mereka serempak.

Sarah juga ikut bangkit. Tapi temannya mencegahnya.

“Sarah, kamu ngapain ikut-ikutan berdiri?”

“Iya. Ngapain kamu ngikutin kita terus?”

“Kita pindah, biar ga deket sama kamu. Eh, malah kamu ikut-ikutan pindah. Udah, kamu di situ aja, jangan ikutan ke sini.”

Sarah diam, saat semua temannya mencaci. Ada genangan di matanya yang siap tumpah, tapi dia menahan. Hal ini bukan kali pertama, tapi Sarah seolah tidak menyerah agar dirinya diterima.

Ia diam, dan kembali duduk di bawah pohon belimbing. Matanya menatap kosong teman-temannya yang kembali bergurau di tempat semula. Ada rasa sakit di hatinya yang tak bisa ia jelaskan. Hatinya terluka.

Bosan duduk di bawah pohon sendirian. Sarah kembali ke dalam kelas. Ia merasa malu, di luar menjadi tontonan dan bahan pembicaraan satu sekolah.

Gadis itu kembali menekuri meja dan tempat duduknya di kelas. Tak bisa ia tahan airmata yang tadi dibendung, kini ia menangis, terisak. Sampai bel masuk berbunyi menghentikan tangisnya. Dia mengusap air matanya dan bersikap seolah baik-baik saja.

***

Jika kita tak bersalah, pantaskah kita diasingkan? Lalu bagaimana inti dari pendidikan itu sendiri. Jika tempat ini seolah menjadi neraka untuknya. Apakah dia akan menjadi anak yang terdidik di masa depan?

Sarah tak mengerti, sejauh ini ia tak pernah membenci teman-temannya. Hanya saja ia sudah mulai enggan untuk berbaur. Ia lebih suka termenung di dalam. Kelas, atau duduk di teras melihat teman-temannya bermain dengan tatapan kosong.

Dalam hati ia ingin diterima, sama seperti yang lainnya.

Hari ini, dengan semangat yang sama, Sarah kembali berangkat sekolah. Ia tidak berharap banyak, ia hanya ingin, hari ini teman-temannya tidak mengganggunya. Itu saja, ia tidak berharap teman-teman akan bermain dengannya.

Pagi-pagi sekali, ia sudah sampai di kelas. Menyapu barisannya, kemudian duduk di bangkunya yang terletak di pojok kanan, ujung belakang.

Sarah duduk, menunggu gurunya masuk ke kelas. Teman-temannya mulai berdatangan, mereka yang piket pun mulai menyapu.

“Siapa yang piket hari ini.” Sinta berteriak. Ia adalah gadis paling gendut di kelas Empat.

“Sarah, Dewi, Laras, sama Anton.”Gadis menjawab pertanyaan Sinta

“Sarah, udah nyapu belum?” tanya Sinta. Sarah mengangguk.

Sinta melihat barisan Sarah, seolah menyangsikan ucapan Sarah.

“Dewi! Kamu piket hari ini. Malah enak-enak cerita.”

“Nggak, ada sapu.”

“Sapu, kan, ada di dekat meja Sarah. Dari dulu perasaan engga pindah, deh. Kamu mah, alasan aja.”

“Nggak mau, ah. Jijik deket dia.”

Sarah mendengarnya, tapi ia diam saja. Seolah tidak tahu apa-apa.

“Eh, Sarah, ambilin sapunya!” teriak Ria.

“Ini, Ria.” Sarah mengulurkan sapu pada Ria.

Gadis yang bernama Ria menerima sapu yang diberikan Sarah. Kemudian ia memberikannya pada Dewi. Dewi menerimanya, tapi ia mengelapkan ujung yang tadi di pegang Sarah ke baju teman-temannya.

“Ih … jijik.”

“Aaa! Dewi kamu apa-apaan si.”

“Emangnya kalian mau, pegang yang abis dipegang sama Sarah? Nggak mau kan?”

“Ya, tapi ga usah digituin juga.”

Selepas adegan itu, Dewi mulai menyapu.

Sarah bisa mendengar semuanya, lagi-lagi ia tidak ingin peduli. Tangannya bersih, tak ada kotoran di sana. Tapi teman-temannya selalu bersikap seperti itu. Bagi mereka dirinya adalah najis yang haram jika sampai tersentuh.

Setelah menyapu, Dewi mengembalikan sapu dengan melempar ke arah Sarah. Ujung kayunya mengenai kaki mungil Sarah. Gadis itu meringis kesakitan. Sedang Dewi bersikap biasa saja tanpa rasa bersalah.

Sarah menangis. Hari-hari di sekolah selalu seperti itu. Sebenarnya sakit di kakinya bisa ia tahan agar tidak menangis. Tapi ada luka di hatinya yang tidak sanggup ia tahan.

Hari ini Sarah mulai membenci teman-temannya. Sarah bersumpah pada dirinya sendiri tidak akan pernah mengenal mereka lagi, ia hanya berharap masa-masa ini segera berakhir. Ia tidak ingin di sekolah ini lagi. Ia benci tempat ini.

***

“Tuhan, aku percaya suatu saat aku akan menjadi orang yang sukses. Anak-anakku tidak akan pernah merasakan apa yang aku rasakan,” ucapnya lirih

Gadis itu berjalan cepat ke rumahnya. Matahari sangat terik di jam pulang sekolah. Rasa lapar mulai menguliti perutnya.

“Assalamualaikum,” ucapnya saat masuk ke dalam rumah.

Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Sarah membuka tudungsaji di atas meja, ada sepotong tahu kecap dan sepiring nasi.

“Kakak.” Sarah menoleh. Ia melihat adiknya pulang bersama sang ibu. Sepertinya ibu baru saja pulang dari mencuci di sungai.

Sarah mendekati adiknya. “Iya?”

“Mau makan.”

“Kamu belum makan?”

Nissa menggeleng.

“Ya udah sini.”

Nissa mendekat ke arah sang Kakak, keduanya pun mulai makan bersama. Sedang sang ibu menjemur pakaian di samping rumah.

Di sana, diam-diam sang ibu menitikkan air mata. Tak ada yang tahu, juga tak ada yang peduli. Ia hanya punya harapan, kedua anak gadisnya akan hidup bahagia kelak. Tak seorang ibu pun yang tega melihat anaknya menderita.

________________

To be continue ….

Gratis

Gratis

Gratis

Gratis

Gratis

Premium