“Dengar,” ucap Mas Cakra. “Aliya Rahmani Cakra Winata. Di hadapan seluruh keluargaku yang menjadi saksinya, aku, Cakra Winata, memberimu talak pertama.”
~Cakra Winata
~•°•~
Rasanya baru tadi kami menikmati manisnya madu cinta. Keadaan berubah dengan sangat cepat. Aku masih terlalu terkejut dengan kata ‘Talak’ yang diucapkan Mas Cakra.
Baru sebentar aku merasa dekat dengan Mas Cakra, namun kini kami sudah seperti orang asing meski duduk bersebelahan di satu mobil.
Mas Cakra adalah seorang pria yang aku kenal di sebuah seminar pemberdayaan anak. Ia bekerja sebagai salah seorang guru pendidik di sebuah sekolah dasar.
Aku mengenalnya sebagai pria yang sangat berwibawa dan penyayang, sehingga kini aku masih tidak percaya ia tidak mau mendengarkan penjelasanku.
Mungkin inilah yang dinamakan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, Mas Cakra larut dalam ego dan emosinya. Sehingga menolak mendengar penjelasan. Aku hanya berharap, besok amarahnya mereda dan pernikahan kami akan baik-baik saja.
Dari jauh sudah bisa aku lihat gerbang Panti Asuhan Khasanah. Benar, panti itulah yang menjadi rumahku selama ini. Gerbangnya sudah tertutup, karena saat ini memang sudah larut malam.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang. Aku tidak langsung turun, melainkan menatap Mas Cakra lekat-lekat.
“Turun,” ucapnya dingin. Ini untuk pertama kalinya ia bersikap sedingin ini padaku.
“Tapi, Mas.”
“Aliya, aku bilang turun!” Nadanya mulai meninggi. Mataku sudah mulai berkaca-kaca lagi.
“Mas ….” Aku masih bersikukuh. Aku ingin, setidaknya ia mendengarkan penjelasanku lebih dulu.
Mas Cakra bangkit, kemudian turun dari mobil. Tubuh tegapnya berputar membuka pintu mobil tempat aku duduk.
Ia menarik kasar tubuhku keluar. Kemudian menghempaskannya ke tanah.
“Ingat Aliya, hanya tinggal dua talak lagi. Kamu jangan pernah berharap bisa kembali padaku. Aku sama sekali tidak tertarik lagi untuk membangun bahtera rumah tangga bersamamu. Ingat itu baik-baik!” ucapnya sadis setelah menghempaskanku.
Pria yang baru saja menjatuhkan talak padaku itu, kini sudah berbalik tanpa mempedulikan aku yang semakin terisak.
Tubuh kekarnya menghilang di balik pintu mobil, lalu memacu mobil meninggalkan gerbang pintu asuhan tempat aku dibesarkan dengan kecepatan tinggi. Asapnya mengepul tepat di wajahku.
‘Ah, sekejam ini dia terhadapku.’ batinku sesak.
Aku menatap kosong gerbang Panti yang menjulang tinggi. Kulirik arloji di tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Jam segini, semua orang pasti sudah tidur. Entah bagaimana caraku masuk ke dalam.
Kurogoh ponsel di saku, aku akan menelpon ibu di panti. Namun aku baru ingat baterai handphoneku habis, sudah sejak kemarin tidak aku cas.
Alhasil aku hanya bisa mondar-mandir di depan gerbang. Mau menggedor rasanya tidak sopan. Lelah mondar-mandir aku duduk berjongkok sambil bersandar di pintu gerbang.
***
“Astagfirullah … Nak Aliya, kenapa kamu tidur di sini?” Ibu Merry membangunkanku.
“Maaf, Bu. Saya semalam ketiduran,” jawabku membalas tatapan manik lembut milik ibu panti.
“Iya, Nak. Tapi kenapa kamu bisa sampai ketiduran di sini? Bukankah semalam itu harusnya kamu ada di rumah Nak Cakra?” Ibu Merry menyentuh pundakku lembut. Aku menundukkan kepala, karena tidak sanggup mengatakan yang terjadi.
“Nak?” Disentuhnya daguku, kemudia mengangkatnya agar aku membalas tatapannya.
Pandanganku bertemu dengan tatapan matan Ibu Merry. Ia menganggukkan kepala untuk meyakinkanku.
“Mas Cakra, dia memulangkanku Ibu,” lirihku sendu.
“Tapi kenapa, Nak?”
“Karena … karena aku sudah tidak perawan lagi, Bu.” Air mataku pecah.
Dari dulu, aku tidak pernah bisa menahan air mataku setiap bercerita dengan Bu Merry. Meskipun beliau hanya seorang ibu pengasuh di panti ini, namun ia sudah seperti ibu kandungku sendiri.
“Ya sudah, biar nanti ibu bantu buat bicara sama Nak Cakra ya. Dia pasti akan mengerti.” Ibu mengusap rambutku lembut, menggandengku masuk ke dalam panti.
“Istirahatlah, Nak. Nanti biar Ibu saja yang bicara sama Nak Cakra. Kamu pasti kelelahan sampai tertidur di depan gerbang,” ucap Ibu.
“Tidak, Bu. Aku harus berbicara sendiri dengan Mas Cakra. Nanti aku akan menemuinya lagi. Aku akan jelaskan masalahnya padanya, Bu. Ibu tidak perlu terlibat dalam masalah kami.” Aku menggeleng pelan, sangat tidak pantas rasanya jika melibatkan orangtua untuk masalah rumah tangga.
“Tapi, Nak.” Ibu masih berusaha membujukku.
“Ibu, aku mohon,” ucapku memelas.
Mataku menatap penuh harap pada Ibu yang hanya menghela napasnya berat. Namun akhirnya ibu mengangguk, tanda mengijinkan. Senyuman langsung merekah di wajahku.
***
Bersambung ….